Al-Mujtahidun fi al-Qada
Oleh
Acep Zoni S. Mubarak, M.Ag.
Sampai saat ini
pemikiran hukum Islam tidak pernah terhenti. Pemikiran hukum Islam tetap
dilaksanakan oleh paling sedikitnya dua golongan profesional, yakni para qa>d}i>
(hakim) dan para mufti>. Golongan yang pertama melakukan pemikiran hukum
Islam dengan jalan pelaksanaan ilmu hukum melalui keputusan pengadilan,
sedangkan golongan kedua melalui fatwa.
Seperti halnya
Waell B Hallaq mencoba menunjukan bahwa pintu ijtihad tidak (pernah) tertutup
baik dalam teori maupun dalam praktek. Melalui analisis kronologis terhadap
literatur yang relevan dengan pokok persoalan ini mulai dari abad ke 4/10 ke
depan, akan menjadi jelas bahwa diantaranya para fuqaha yang mampu untuk
melakukan ijtihad selalu ada di sepanjang waktu dan ijtihad digunakan untuk
mengembangkan hukum positif setelah terbentuknya mazhab-mazhab.
Walaupun
menurut Joseph Schacht keputusan yang diberikan oleh para qa>d}i> sebenarnya tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam setelah berakhirnya periode formatif
Hukum Islam pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, tapi pada dasarnya qa>d}i> (hakim) pada
masa permulaan itu telah melatakkan dasar bagi perkembangan Hukum Islam.
Demikian pula dalam praktek di Indonesia,
dinamika ijtihad Hakim Pengadilan Agama terus berlangsung dalam kurun sebelum
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Inpres No. 1 Tahun
1991, pasca pemberlakuannya dan setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.
Ada yang
berbeda pada hakim Pengadilan Agama dengan hakim Pengadilan Umum, Militer, Tata
Usaha Negara yang hanya tunduk terhadap perundangan negara yang dasar hukum
materil maupun formilnya bersumber satu
arah pada aturan negara. Tapi bagi hakim Pengadilan Agama, ada dualisme antara
aturan yuridis dengan aturan agama (hukum Islam) yang menjadi landasasn
penetapannya. Dalam istilah Rifyal Ka’bah, adanya pembedaan antara hukum yang
bersifat qad}a>’i> (yuridis) dan diya>ni> (hukum
Islam).
Sebagai
deskripsi perkara, hakim Pengadilan Agama bisa memutuskan untuk mengijinkan
seorang istri menggugat cerai atas dasar dia mengalami penderitaan karena
suaminya kawin lagi atau poligami. Keputusan untuk menceraikan di sini adalah qad}a>’i>
(yuridis) yang bersumber dari ketentuan ketuhanan dalam al-Qur’an (diya>ni>)
bahwa istri harus diperlakukan dengan baik.
Antara teks
al-Qur’an dan keputusan pengadilan tersebut terdapat serangkaian proses ijtihad
yang cukup panjang. Bagaimana cara mengambil istinba>t} hukum dari teks
al-Qur’an tersebut dan metode apa yang digunakan sehingga melahirkan keadilan
bagi para pencari hukum.
Dalam tataran
ini, seorang hakim dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas
intelektual yang, terutama sekali, dibutuhkan dalam lapangan ijtihad. Secara
umum dipahami bahwa ijtihad merupakan usaha pengerahan pikiran secara optimal
dari orang yang memiliki kompetensi untuk itu dalam menemukan suatu kebenaran
dari sumbernya dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam bidang
fiqh, ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran secara optimal dari ahlinya, baik
dalam menyimpulkan hukum fiqh dari al-Quran dan Sunnah maupun dalam
penerapannya.
Menurut Satria Effendi M. Zein, dalam lapangan fiqh
terdapat dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari
sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad dalam bentuk pertama
disebut ijtihad istinba>t}i>, sedangkan dalam
bentuk kedua disebut ijtihad tat}bi>qi>.
Lapangan ijtihad istinba>t}i> adalah al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh
para hakim dan juris Islam lainnya dalam membuat rumusan hukum. Pada periode
awal Islam ijtihad seperti ini diperlukan, disamping tat}bi>qi>, dan merupakan
persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi hakim.
Karena ijtihad tat}bi>qi> merupakan ijtihad seorang hakim dalam
menerapkan hukum kepada kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Ijtihad ini tidak
kalah pentingnya dibanding dengan ijtihad istinba>t}i>. Kejelian seorang hakim dalam menebak
mana yang benar dan mana yang salah dalam satu perkara, ketajaman pandangannya
dalam menangkap isyarat-isyarat dan qari>nah yang melingkari suatu kasus,
dan dalam memilih putusan hukum yang bagaimana yang lebih cocok dengan suatu
perkara, merupakan nilai postif tersendiri bagi kondite seorang hakim.
Atas dasar hal
itulah kemampuan intelektual seorang hakim untuk masa sekarang
lebih banyak tercurah pada ijtihad tat}bi>qi>. Lapangan ijtihad ini adalah tempat penerapan hukum, yaitu
manusia dengan segala ihwalnya yang selalu berubah dan berkembang. Seiring
dengan perkembangan manusia, ijtihad tat}bi>qi> tidak pernah terputus selama umat Islam bertekad untuk
mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu ijtihad
tatbiqy berkaitan erat dengan tugas para hakim, karena peran hakim sebagai
penegak hukum tidak cukup hanya dengan penguasaan (materi) hukum belaka, tetapi
juga memerlukan kemampuan untuk menerapkannya secara benar dan proporsional.
Hal ini karena peran hakim adalah melakukan rechsvinding (penemuan hukum), yang
menurut Paul Scholten dapat dilakukan melalui rechtscontructie (konstruksi hukum), rechtsinterpretatie (penafsiran hukum), rechtsanalogie (analogi hukum), dan rechtsvervijning (penghalusan hukum).
Hakim Pengadilan Agama mempunyai
tugas berat, di satu pihak harus menerapkan peraturan
perundang-undangan, akan tetapi di pihak lain kalau penerapan tersebut tidak
sesuai dengan fakta, keadaan bahkan tujuan hukum maka
akan menimbulkan ketidak pastian dan ketidakadilan. Untuk memungkinkan
peraturan perundang-undangan terterap sebagai mana mestinya, hampir seluruh hakim harus melakukan penafsiaran dan berijtuhad.
Apabila melihat
perundang-undangan, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama pada dasarnya
dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihadnya. Atau, paling sedikit tidak
ada satu pun Undang-undang yang melarang hakim—terutama hakim agama—untuk
berijtihad. Termasuk ke dalam koridor ijtihad ialah mencarikan keputusan hukum
yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri.
Dengan memakai
instrumen ijtihad dalam bentuk yang sederhana, hakim dapat menggali dan
mengembangkan hukum Islam yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sebuah
prinsip yang sangat berharga dalam hal ini adalah bahwa selama hukum itu
merupakan hasil ijtihad, terbuka untuk dijadikan sasaran ijtihad oleh hakim
Pengadilan Agama yang memiliki kemampuan. Sebagaimana diungkapkan oleh Qadry A
Azizy, ketika kitab fiqh membahas mengenai hakim (hakim atau qa>d}i>)
pada setiap lembaga peradilan (wilayah al-qad}a>) kemampuan
berijtihad menjadi salah satu syaratnya.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan
hakim Pengadilan Agama sebagaimana yang dikemukakan oleh Satria Effendi M.
Zein:
a.
Melakukan
penafsiran terhadap kata atau redaksi dari pasal-pasal yang terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam. Dan dalam mengadakan penafsiran itu, hukum kebalikan
dari satu redaksi (mafhu>m mukha>lafah) di satu kali dapat difungsikan.
b.
Melakukan
analogi (qiya>s) dengan menyamakan hukum kasus baru yang belum terdapat
rumusan hukumnya secara redaksional di dalam rumusan-rumusan hukum yang sudah
ada tersedia dengan alasan ada persamaan substansinya.
c.
Membuat
hukum pengecualian. Ketika seseorang akan menerapkan suatu hukum yang sudah
siap pakai kepada sebuah kasusu, pada satu kali subyek yang terlibat dalam
kasus itu sedang tidak siap menerima hukum yang seperti itu, atau akan
menimbulkan madarat yang lebih besar. Dalam kasus seperti ini perlu diadakan
hukum pengecualian seperti terdapat dalam konsep metode istih}sa>n.
Ala kulli hal, Kekuatan ijtihad hakim agama masih
terus melekat dari dulu sampai sekarang dengan menggunakan metode istinbat
hukum yang terdapat dalam tradisi us}u>l
al-fiqh yang dilengkapi dengan perangkat aturan negara yang mampu
memberikan kekuatan hukum formal yang mengikat. Maka pantas bagi para hakim
Pengadilan Agama diberi julukan sebagai Al-Mujtahidun fi al-Qadla. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda tidak setuju atau memiliki saran, silahkan isi komentar di bawah ini: